Kamis, 07 Juni 2012

KEDATANGAN MASYARAKAT TIONGHOA KE SINGKAWANG




 
T U G A S   INDIVIDU

KEDATANGAN MASYARAKAT TIONGHOA KE SINGKAWANG

Dosen                  : Drs. Agus Sastrawan Noor
Mata kuliah  : HistOriografi


DI SUSUN

O
L
E
H

M. NOVIDA  ANGGRENI
220800203




SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA
( STKIP – PGRI )
PONTIANAK
2011







BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penggunaan Istilah Tionghoa, dalam beberapa tahun ini marak lagi pembicaraan tentang istilah “Cina” atau “Tionghoa”, bahkan ada kelompok sampai mengadakan polling untuk istilah ini. Meja redaksi Media Indonesia juga kena giliran dikirimi surat pembaca yang menanyakan tentang istilah Cina dan Tionghoa.
Tidak banyak orang yang tahu bahwa wacana Cung Hwa setidaknya sudah dimulai sejak tahun 1880, yaitu adanya keinginan dari orang-orang di Tiongkok untuk terbebas dari kekuasaan dinasti dan membentuk suatu negara yang lebih demokratis dan kuat. Wacana ini sampai terdengar oleh orang asal Tiongkok yang bermukim di Hindia Belanda yang ketika itu dinamakan "Orang Cina", diduga panggilan ini berasal dari kosa kata "Ching" yaitu nama dari Dinasty. Orang asal Tiongkok ini yang anak-anaknya berlahiran di Hindia Belanda merasa perlu mempelajari kebudayaannya, termasuk bahasanya, maka oleh sekelompok orang Cina di Hindia Belanda (1900) didirikanlah suatu sarana sekolah dibawah naungan suatu badan yang dinamakan Tjung Hwa Hwei Kwan, yang kalau di lafal Indonesiakan menjadi Tiong Hoa Hwe Kwan (THHK). THHK dalam perjalanannya bukan saja memberikan pendidikan bahasa dan kebudayaan Tiongkok tapi juga menumbuhkan rasa persatuan orang-orang Cina di Hindia Belanda, seiring dengan perubahan istilah Cina menjadi Tionghoa (di Hindia Belanda).
Asal kata Tionghoa:
Tionghoa adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang di Indonesia berasal dari kata Cung Hwa dari Tiongkok. Istilah Tionghoa dan Tiongkok lahir dari lafal Melayu (Indonesia) dan Hokian, secara linguistik Tionghoa dan Tiongkok memang tidak dikenal (diucapkan dan terdengar) diluar masyarakat Indonesia. Istilah China yang dibuat orang dari luar Tiongkok yang telah terlanjur populer bukan berarti tidak boleh diganti dengan Tionghoa/Tiongkok.
 . Dalam sastra lama, baik yang Melayu maupun yang Jawa dan lain-lain., istilah yang dipakai adalah cina. Sejak permulaan timbulnya pers berbahasa Melayu dengan abjad Latin pertengahan abad ke-19 pun, yang dipakai ialah cina. Istilah tionghoa, kalau tidak salah, mulai timbul dalam periode antara kedua perang dunia, sebagai akibat satu pertalian idiel antara gerakan nasional kaum pribumi Indonesia dengan organisasi-organisasi masyarakat non-pribumi (baik Tionghoa, maupun Arab dan lain lainl.). Dalam hal ormas Tionghoa, ikatannya dengan gerakan nasional pribumi dipererat lagi karena gerakan yang dipimpin oleh Sun Yat-sen di Tiongkok yang mendapat sambutan positif baik di kalangan gerakan nasional pribumi, maupun di kalangan ormas Tionghoa di Indonesia.
   Setelah Proklamasi 1945 dan Konperensi Meja Bundar 1949 di Indonesia, dan perpindahan kekuasaan di Tiongkok dengan didirikannya "Republik Rakyat" pada tahun 1950, terjadi penjalinan hubungan diplomatik resmi. Pada waktu itu pun nama negara tersebut resminya dinyatakan "Republik Rakyat Tiongkok" (dalam ejaan waktu itu). Pemakaian kata-kata Tiongkok dan Tionghoa itu tambah mantap pada masa Konperensi Asia-Afrika di Bandung 1955, ketika menjadi populer untuk mendahulukan nama negeri orang yang sesuai dengan nama pribumi negeri bersangkutan. Misalnya populerlah negeri Siam / Thailand disebut Muangthai, begitu pun Sailan / Ceylon disebut Srilangka (walaupun di negeri itu sendiri, pengantian nama resmi menjadi Sri Langka baru dilakukan belakangan).
Jadi, terlepas dari segala aspek lainnya, istilah bahasa bakunya pada periode 1950 - 1965 itu Tionghoa dan Tiongkok, dan bahkan dalam bahasa kolokuial pun orang umumnya memakai kedua kata tersebut, sedangkan kata cina itu penggunaannya minimal sekali. Selain itu, pada periode itu ada satu perbedaan, yaitu kalau memisuh seorang keturunan sana secara "penasaran" atau "dongkol" atau "benci", maka pisuhannya itu cina' lu!, dan tidak pernah tionghoa lu! (dimana yang dimaksud dengan lu ialah kau-nya bahasa Jakarta). Artinya, dalam periode tersebut, tionghoa itulah kata yang baku dan netral, sedangkan cina itu sangat kolokuial dan bertendens menghina. Sudah lumrah, waktu pihak penguasa merasa perlu melancarkan kampanye politik melawan negara yang bersangkutan, kata cina lah yang dipakai, dan kemudian diseragamkan untuk seluruh masyarakat. Jadi, dari segi linguistik yang bersih mengobservasi saja, kita mendapatkan periodisasi berikut:
1. Istilah dari "dahulu kala" adalah cina.
2. Dengan berkembangnya gerakan nasional, orang mulai memakai tionghoa (disamping cina).
3. Dalam periode demokrasi liberal (1950-1957), dimantapkan pemakaian       tionghoa.
4. Sekitar 1966 Orde Baru menghidupkan kembali istilah cina, sedangkan yang memakai tionghoa bisa dituduh pro-G30S.

B. Rumusan Masalah
Adapun, permasalahan yang akan di bahas dalam makalah ini adalah :
·         Bagaimana kedatangan orang cina di Kalimantan Barat, khususnya di wilayah Singkawang ?
·         Bagaimana kehidupan dan perkembangan masyarakat cina pada masa awal kedatangannya di Singkawang ?

C. Tujuan
                   Adapun tujuan dari penulisan makalah ini, yaitu:
Dengan adanya penulisan makalah ini, diharapkan kita sebagai masyarakat Kalimantan Barat lebih mengetahui sejarah lokal yang ada di daerah kita masing-masing, dan khususnya yang di bahas di sini tentang keberadaan masyarakat cina di Singkawang. Sangat diharapkan agar kita dapat mengetahui, memahami, dan sekaligus dapat menganalisis proses kedatangan orang cina, motif yang melatarbelakangi orang cina datang ke KalBar, khususnya di wilayah Singkawang, serta dapat mengetahui perkembangan kehidupannya di Singkawang dan sekitarnya. Selain itu dalam makalah ini juga di jelaskan mengapa sampai terjadi pertumpahan darah orang cina akibat pembantian yang di lakukan oleh suku Dayak. Jadi dengan adanya penulisan makalah ini, semua hal tersebut di atas dapat diketahui dan lebih di mengerti.










BAB II
PEMBAHASAN

             Awal kedatangan orang Tionghoa Keberadaan orang-orang Tionghoa yang pertama kali di Nusantara sebenarnya tidak jelas. Dugaan selama ini hanya berdasarkan hasil temuan benda-benda kuno seperti tembikar Tiongkok di Jawa Barat, Lampung, daerah Batanghari dan Kalimatan Barat dapat ditemukan genderang (genta) perunggu Dongson di Jawa, Bali dan dataran Pasemah, Sumatera Selatan.
Sejak abad ketiga, pelaut Cina telah berlayar ke Indonesia untuk melakukan perdagangan. Rute pelayaran menyusuri pantai Asia Timur dan pulangnya melalui Kalimantan Barat dan Filipina. Pada abad ketujuh, hubungan Tiongkok dengan Kalimantan Barat sudah sering terjadi, tetapi belum menetap. Imigran dari Cina kemudian masuk ke Kerajaan Sambas dan Mempawah dan terorganisir dalam kongsi sosial politik yang berpusat di Monterado dan Bodok. Kerajaan Sambas dan Mandor dalam Kerajaan Mempawah. Pasukan Khubilai Khan di bawah pimpinan Ike Meso, Shih Pi dan Khau Sing dalam perjalanannya untuk menghukum Kertanegara, singgah di kepulauan Karimata yang terletak berhadapan dengan Kerajaan Tanjungpura. Karena kekalahan pasukan ini dari angkatan perang Jawa dan takut mendapat hukuman dari Khubilai Khan, kemungkinan besar beberapa dari mereka melarikan diri dan menetap di Kalimantan Barat.
Pada tahun 1407, di Sambas didirikan Muslim/Hanafi - Chinese Community. Tahun 1463 laksamana Cheng Ho, seorang Hui dari Yunan, atas perintah Kaisar Cheng Tsu alias Jung Lo (kaisar keempat dinasti Ming) selama tujuh kali memimpin ekspedisi pelayaran ke Nan Yang. . Ketika itu diutus Kaisar Cina untuk menjalin hubungan dagang dengan berbagai  kerajaan di kawasan selatan. Begitu tiba di Sambas, laksamana yang  Muslim ini mendirikan Perkumpulan Tionghoa Islam Sambas. Perkumpulan tersebut berpusat di Sungai Raya, 120-an kilometer utara Pontianak.  
Kedatangan warga Tionghoa mulai marak berlangsung sekitar awal abad 17. Tempat tujuannya adalah Montrado. Di sana, mereka menggali serta mengolah emas untuk kepentingan Sultan Sambas.  Melihat kondisi alam  yang memiliki prospek yang cukup baik bagi masa depan, arus kedatangan orang Tionghoa ke Kalbar terus meningkat tajam. Beberapa anak buahnya ada yang kemudian menetap di Kalimantan Barat dan membaur dengan penduduk setempat. Mereka juga membawa ajaran Islam yang mereka anut sejak abad 17.
Di abad ke-17 hijrah bangsa Cina ke Kalimantan Barat menempuh dua rute yakni melalui Indocina - Malaya - Kalimantan Barat dan Borneo Utara - Kalimantan Barat. Tahun 1745, orang Cina didatangkan besar-besaran untuk kepentingan perkongsian, karena Sultan Sambas dan Panembahan Mempawah menggunakan tenaga-tenaga orang Cina sebagai wajib rodi dipekerjakan di tambang-tambang emas. Tahun 1760 mereka datang dalam jumlah yang besar ke Kalimantan. Mula-mula mereka didatangkan dan dipekerjakan di tambang emas oleh Sultan Sambas sejak tahun 1740-an. Sebelumnya, hanya orang Dayak dan Melayu yang menjadi penambang tetapi ternyata hasil yang diperoleh sedikit.  Sementara itu orang Cina lebih berpengalaman dan unggul dalam teknologi penambangan sehingga dapat memproduksi emas lebih banyak. Orang Cina pada saat  itu juga memiliki organisasi untuk mendatangkan buruh ‘China’ dari daratan China dan menguasai buruh sehingga pertambangan dapat terus berlangsung. Karena alasan-alasan seperti ingin bagian yang lebih besar dan tidak puas pada Sultan (mereka merasa diperas) maka mereka tidak menyerahkan emasnya kepada Sultan Sambas tetapi untuk diri mereka sendiri dan mendirikan kongsi. Kongsi adalah organisasi yang mengurus kehidupan orang cina termasuk memiliki pasukan keamanan untuk menjaga keselamatan masyarakat cina. Kedatangan mereka di Monterado membentuk kongsi Taikong (Parit Besar) dan SamtoKiaw (Tiga Jembatan).
Tahun 1770, orang-orang Cina perkongsian yang berpusat di Monterado dan Bodok berperang dengan suku Dayak yang menewaskan kepala suku Dayak di kedua daerah itu. Sultan Sambas kemudian menetapkan orang-orang Cina di kedua daerah tersebut hanya tunduk kepada Sultan dan wajib membayar upeti setiap bulan, bukan setiap tahun seperti sebelumnya. tetapi mereka diberi kekuasaan mengatur pemerintahan, pengadilan, keamanan dan sebagainya. Semenjak itu timbul Republik Kecil yang berpusat di Monterado dan orang Dayak pindah ke daerah yang aman dari orang Cina.
Pada Oktober 1771 kota Pontianak berdiri. Tahun 1772 datang seorang bernama Lo Fong (Pak) dari kampung Shak Shan Po, Kunyichu, Kanton membawa 100 keluarganya mendarat di Siantan, Pontianak Utara. Sebelumnya di Pontianak sudah ada kongsi Tszu Sjin dari suku Tio Ciu yang memandang Lo Fong sebagai orang penting. Mandor dan sekitarnya juga telah didiami suku Tio Ciu, terutama dari Tioyo dan Kityo. Daerah Mimbong didiami pekerja dari Kun-tsu dan Tai-pu. Seorang bernama Liu Kon Siong yang tinggal dengan lebih dari lima ratus keluarganya mengangkat dirinya sebagai Tai-Ko di sana. Di San Sim (Tengah-tengah Pegunungan) berdiam pekerja dari daerah Thai-Phu dan berada di bawah kekuasaan Tong A Tsoi sebagai Tai-Ko. Lo Fong kemudian pindah ke Mandor dan membangun rumah untuk rakyat, majelis umum (Thong) serta pasar. Namun ia merasa tersaingi oleh Mao Yien yang memiliki pasar 220 pintu, terdiri dari 200 pintu pasar lama yang didiami masyarakat Tio Tjiu, Kti-Yo, Hai Fung dan Liuk Fung dengan Tai-Ko Ung Kui Peh dan 20 pintu pasar baru yang didiami masyarakat asal Kia Yin Tju dengan Tai-Ko Kong Mew Pak. Mao Yien juga mendirikan benteng Lan Fo (Anggrek Persatuan) dan mengangkat 4 pembantu dengan nama Lo-Man. Lo Fong kemudian mengutus Liu Thoi Ni untuk membawa surat rahasia kepada Ung Kui Peh dan Kong Mew Pak, sehingga mereka terpaksa menyerah dan menggabungkan diri di bawah kekuasaan Lo Fong tanpa pertumpahan darah. Lo Fong kemudian juga merebut kekuasaan Tai-Ko Liu Kon Siong di daerah Min Bong (Benuang) sampai ke San King (Air Mati).
Pertengahan abad 18 Lo Fong kemudian menguasai pertambangan emas Liu Kon Siong dan pertambangan perak Pangeran Sita dari Ngabang. Kekuasaan Lo Fong meliputi kerajaan Mempawah, Pontianak dan Landak dan disatukan pada tahun 1777 dengan nama Republik Lan Fong. Tahun 1795 Lo Fong meninggal dunia dan dimakamkan di Sak Dja Mandor. Republik yang setiap tahun mengirim upeti kepada Kaisar Tiongkok ini pun bubar. Oleh orang Cina Mandor disebut Toeng Ban Lit (daerah timur dengan 1000 undang-undang).
            Pada 6 September 1818 Belanda masuk ke Kerajaan Sambas. Tanggal 23 September Muller dilantik sebagai Pejabat Residen Sambas dan esoknya mengumumkan Monterado di bawah kekuasaan pemerintahan Belanda. Pada 28 November diadakan pula pertemuan dengan kepala-kepala kongsi dan orang-orang Cina di Sambas. Pada tahun 1819, masyarakat Cina di Sambas dan Mandor memberontak dan tidak mengakui pemerintahan Belanda. Seribu orang dari Mandor menyerang kongsi Belanda di Pontianak. Pada 22 September 1822 diumumkan hasil perundingan segitiga antara Sultan Pontianak, pemerintahan Belanda dan kepala-kepala kongsi Cina. Namun pada 1823, setelah berhasil menguasai daerah Lara, Sin Ta Kiu (Sam Tiu Kiu), Sambas, kongsi Tai Kong mengadakan pemberontakan terhadap Belanda karena merasa hasil perundingan merugikan pihaknya. Dengan bantuan Sam Tiu Kiu dan orang-orang Cina di Sambas, kongsi Tai Kong kemudian dipukul mundur ke Monterado. Setelah gagal pada serangan kedua tanggal 28 Februari 1823, pada 5 Maret penduduk Cina yang memberontak menyatakan menyerah dan kemudian 11 Mei komisaris Belanda mengeluarkan peraturan-peraturan dan kewajiban-kewajiban kongsi-kongsi.
Tahun 1850, kerajaan Sambas yang dipimpin Sultan Abubakar Tadjudin II hampir jatuh ke tangan perkongsian gabungan Tai Kong, Sam Tiu Kiu dan Mang Kit Tiu. Kerajaan Sambas meminta bantuan kepada Belanda. Tahun 1851, kompeni Belanda tiba dipimpin Overste Zorg yang kemudian gugur ketika perebutan benteng pusat pertahanan Sam Tiu Kiu di Seminis Pemangkat. Ia dimakamkan di bukit Penibungan, Pemangkat.
Setelah Abad 18 tahun 1854 pemberontakan kian meluas dan didukung bangsa Cina yang di luar perkongsian. Belanda kemudian mengirimkan pasukan tambahan ke Sambas yang dipimpin Residen Anderson. Akhirnya pada 1856 Republik Monterado yang telah berdiri selama 100 tahun berhasil dikalahkan. Tanggal 4 Januari 1857 Belanda mengambil alih kekuasaan Cina di kerajaan Mempawah, dan tahun 1884 seluruh perkongsian Cina di Kalimantan Barat dibubarkan oleh Belanda. Tahun 1914, bertepatan dengan Perang Dunia I, terjadi pemberontakan Sam Tiam (tiga mata, tiga kode, tiga cara). Pemberontakan di Monterado dipimpin oleh bekas keluarga Republik Monterado, sedangkan pemberontakan di Mempawah dipimpin oleh bekas keluarga Republik Lan Fong. Mereka juga dibantu oleh masyarakat Melayu dan Dayak yang dipaksa untuk berpartisipasi Pemberontakan berakhir tahun 1916 dengan kemenangan di pihak Belanda. Belanda kemudian mendirikan tugu peringatan di Mandor bagi prajurit-prajuritnya yang gugur selama dua kali pemberontakan Cina (tahun 1854-1856 dan 1914-1916). Perang 1914-1916 dinamakan Perang Kenceng oleh masyarakat Kalimantan Barat.
Tahun 1921-1929 karena di Tiongkok (Cina) terjadi perang saudara, imigrasi besar-besaran orang Cina kembali terjadi dengan daerah tujuan Semenanjung Malaya, Serawak dan Kalimantan Barat. Tidak ada data resmi mengenai jumlah populasi Tionghoa di Indonesia dikeluarkan pemerintah sejak Indonesia merdeka. Namun perkiraan kasar yang dipercaya sampai sekarang ini adalah bahwa jumlah suku Tionghoa berada di antara 4% - 5% dari seluruh jumlah populasi Indonesia. 
Demikianlah kemudian karena beberapa faktor, masyarakat cina semakin ramai saja memasuki Kalimantan Barat khususnya Singkawang. Walaupun telah terjadi beberapa konflik yang melibatkan masyarakat cina baik dengan orang melayu maupun dayak, namun masyarakat cina terus maju dan berkembang di Singkawang hingga sekarang. Masyarakat cina dengan harmonis hidup berdampingan dengansuku lainnya yang ada di Singkawang.   Bahkan saat ini tradisi dan kebudayaan cina telah sejajar dengan kebudayaan dua suku lainnya yang menghuni mayoritas Kota Singkawang yaitu Melayu dan Dayak.














BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
 Dari makalah di atas dapat disimpulkan bahwa : kedatangan orang cina di singkawang di perkirakan berawal dari perdagangan yang melibatkan cina dengan pedagang Indonesia yang dilalui dengan jalur laut. Hubungan ini terjalin sejak abad ke- VII dimana pada saat itu tiongkok dengan Kalimantan Barat mulai menjalin hubungan dagang. Namun kedatangan orang tionghoa mulai marak terjadi pada abad ke 17 dengan tujuan utama adalah Monterado,yang merupakan daerah pertambangan emas dan mereka bekerja untuk kesultanan sambas yang pada masa itu berkuasa. Kemudian mereka mulai membentuk pengkongsian yang berpusat di Monterado.
Demikianlah kemudian  terjadi beberapa pertikaian yang melibatkan suku dayak dan cina. Dari cina sendiri juga muncul keinginan untuk memberontak terhadap sultan Sambas kerena ketidak puasan meraka akan pemerintahan dan kebijakan sultan Sambas. Bangsa cina juga mendapat ganguan dari belanda yang juga mulai berkuasa pada di Sambas saat itu. Setelah melewati berbagai hambatan dan peperangn yang melibatkan bangsa cina baik dengan melayu maupun dayak, pada akhirnya ketiga suku mayoritas yang menghuni kota Singkawang ini dapat hidup berdampingan dengan harmonis hingga saat ini.



B. Saran
Setelah membaca makalah ini, penulis berharap agar seluruh masyarakat dapat mengetahui lebih dalam tentang sejarah kedatangan masyarakat Tionghoa di Singkawang. Keberadaan masyarakat cina di kota Singkawang saat ini sudah diakui, kejadian beberapa tahun yang lalu dapat dijadikan suatu pelajaran yang berharga bagi kita semua. Selain untuk mendapatkan pengetahuan penulis juga berharap agar kita semua dapat saling menghargai dan menghormati antar suku, seperti yang tertuang dalam makna “Bhineka Tunggal Ika”.














DAFTAR PUSTAKA

     http://ace-informasibudaya.blogspot.com
     http://www.mail-archive.com/singkawang@yahoogroups.com
      Pabali H. Musa, Sejarah Kesultanan Sambas Kalimantan, STAIN Pontianak Press 2003 ISBN : 979-97063-3-5.
    Yuan Zi Hi, Kong, Silang Budaya Tiongkok Indonesia No. ISBN : 974-694-8397.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar