T U G A S INDIVIDU
“KEDATANGAN MASYARAKAT TIONGHOA KE SINGKAWANG“
Dosen : Drs. Agus Sastrawan Noor
Mata kuliah : HistOriografi
DI SUSUN
O
L
E
H
M.
NOVIDA ANGGRENI
220800203
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN
ILMU PENDIDIKAN
PERSATUAN GURU REPUBLIK
INDONESIA
( STKIP – PGRI )
PONTIANAK
2011
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Penggunaan Istilah Tionghoa, dalam
beberapa tahun ini marak lagi pembicaraan tentang istilah “Cina” atau
“Tionghoa”, bahkan ada kelompok sampai mengadakan polling untuk istilah ini.
Meja redaksi Media Indonesia juga kena giliran dikirimi surat pembaca yang
menanyakan tentang istilah Cina dan Tionghoa.
Tidak banyak orang yang tahu bahwa
wacana Cung Hwa setidaknya sudah dimulai sejak tahun 1880, yaitu adanya
keinginan dari orang-orang di Tiongkok untuk terbebas dari kekuasaan dinasti
dan membentuk suatu negara yang lebih demokratis dan kuat. Wacana ini sampai
terdengar oleh orang asal Tiongkok yang bermukim di Hindia Belanda yang ketika
itu dinamakan "Orang Cina", diduga panggilan ini berasal dari kosa
kata "Ching" yaitu nama dari Dinasty. Orang asal Tiongkok ini yang
anak-anaknya berlahiran di Hindia Belanda merasa perlu mempelajari
kebudayaannya, termasuk bahasanya, maka oleh sekelompok orang Cina di Hindia
Belanda (1900) didirikanlah suatu sarana sekolah dibawah naungan suatu badan
yang dinamakan Tjung Hwa Hwei Kwan, yang kalau di lafal Indonesiakan menjadi
Tiong Hoa Hwe Kwan (THHK). THHK dalam perjalanannya bukan saja memberikan
pendidikan bahasa dan kebudayaan Tiongkok tapi juga menumbuhkan rasa persatuan
orang-orang Cina di Hindia Belanda, seiring dengan perubahan istilah Cina
menjadi Tionghoa (di Hindia Belanda).
Asal kata Tionghoa:
Tionghoa adalah istilah yang dibuat
sendiri oleh orang di Indonesia berasal dari kata Cung Hwa dari Tiongkok.
Istilah Tionghoa dan Tiongkok lahir dari lafal Melayu (Indonesia) dan Hokian,
secara linguistik Tionghoa dan Tiongkok memang tidak dikenal (diucapkan dan
terdengar) diluar masyarakat Indonesia. Istilah China yang dibuat orang dari
luar Tiongkok yang telah terlanjur populer bukan berarti tidak boleh diganti
dengan Tionghoa/Tiongkok.
. Dalam sastra lama, baik yang Melayu maupun
yang Jawa dan lain-lain., istilah yang dipakai adalah cina. Sejak permulaan
timbulnya pers berbahasa Melayu dengan abjad Latin pertengahan abad ke-19 pun,
yang dipakai ialah cina. Istilah tionghoa, kalau tidak salah, mulai timbul
dalam periode antara kedua perang dunia, sebagai akibat satu pertalian idiel
antara gerakan nasional kaum pribumi Indonesia dengan organisasi-organisasi
masyarakat non-pribumi (baik Tionghoa, maupun Arab dan lain lainl.). Dalam hal
ormas Tionghoa, ikatannya dengan gerakan nasional pribumi dipererat lagi karena
gerakan yang dipimpin oleh Sun Yat-sen di Tiongkok yang mendapat sambutan
positif baik di kalangan gerakan nasional pribumi, maupun di kalangan ormas
Tionghoa di Indonesia.
Setelah Proklamasi 1945 dan Konperensi Meja Bundar 1949 di Indonesia,
dan perpindahan kekuasaan di Tiongkok dengan didirikannya "Republik
Rakyat" pada tahun 1950, terjadi penjalinan hubungan diplomatik resmi.
Pada waktu itu pun nama negara tersebut resminya dinyatakan "Republik Rakyat
Tiongkok" (dalam ejaan waktu itu). Pemakaian kata-kata Tiongkok dan
Tionghoa itu tambah mantap pada masa Konperensi Asia-Afrika di Bandung 1955,
ketika menjadi populer untuk mendahulukan nama negeri orang yang sesuai dengan
nama pribumi negeri bersangkutan. Misalnya populerlah negeri Siam / Thailand
disebut Muangthai, begitu pun Sailan / Ceylon disebut Srilangka (walaupun di
negeri itu sendiri, pengantian nama resmi menjadi Sri Langka baru dilakukan
belakangan).
Jadi, terlepas dari segala aspek lainnya,
istilah bahasa bakunya pada periode 1950 - 1965 itu Tionghoa dan Tiongkok, dan
bahkan dalam bahasa kolokuial pun orang umumnya memakai kedua kata tersebut,
sedangkan kata cina itu penggunaannya minimal sekali. Selain itu, pada periode
itu ada satu perbedaan, yaitu kalau memisuh seorang keturunan sana secara
"penasaran" atau "dongkol" atau "benci", maka
pisuhannya itu cina' lu!, dan tidak pernah tionghoa lu! (dimana yang dimaksud
dengan lu ialah kau-nya bahasa Jakarta). Artinya, dalam periode tersebut,
tionghoa itulah kata yang baku dan netral, sedangkan cina itu sangat kolokuial
dan bertendens menghina. Sudah lumrah, waktu pihak penguasa merasa perlu
melancarkan kampanye politik melawan negara yang bersangkutan, kata cina lah
yang dipakai, dan kemudian diseragamkan untuk seluruh masyarakat. Jadi, dari
segi linguistik yang bersih mengobservasi saja, kita mendapatkan periodisasi
berikut:
1. Istilah
dari "dahulu kala" adalah cina.
2.
Dengan berkembangnya gerakan nasional, orang mulai memakai tionghoa (disamping
cina).
3.
Dalam periode demokrasi liberal (1950-1957), dimantapkan pemakaian tionghoa.
4.
Sekitar 1966 Orde Baru menghidupkan kembali istilah cina, sedangkan yang
memakai tionghoa bisa dituduh pro-G30S.
B. Rumusan Masalah
Adapun, permasalahan yang akan di
bahas dalam makalah ini adalah :
·
Bagaimana
kedatangan orang cina di Kalimantan Barat, khususnya di wilayah Singkawang ?
·
Bagaimana
kehidupan dan perkembangan masyarakat cina pada masa awal kedatangannya di
Singkawang ?
C.
Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah
ini, yaitu:
Dengan adanya penulisan makalah ini, diharapkan kita sebagai
masyarakat Kalimantan Barat lebih mengetahui sejarah lokal yang ada di daerah
kita masing-masing, dan khususnya yang di bahas di sini tentang keberadaan
masyarakat cina di Singkawang. Sangat diharapkan agar kita dapat mengetahui,
memahami, dan sekaligus dapat menganalisis proses kedatangan orang cina, motif
yang melatarbelakangi orang cina datang ke KalBar, khususnya di wilayah Singkawang,
serta dapat mengetahui perkembangan kehidupannya di Singkawang dan sekitarnya.
Selain itu dalam makalah ini juga di jelaskan mengapa sampai terjadi
pertumpahan darah orang cina akibat pembantian yang di lakukan oleh suku Dayak.
Jadi dengan adanya penulisan makalah ini, semua hal tersebut di atas dapat
diketahui dan lebih di mengerti.
BAB II
PEMBAHASAN
Awal
kedatangan orang Tionghoa Keberadaan orang-orang Tionghoa yang pertama kali di
Nusantara sebenarnya tidak jelas. Dugaan selama ini hanya berdasarkan hasil
temuan benda-benda kuno seperti tembikar Tiongkok di Jawa Barat, Lampung,
daerah Batanghari dan Kalimatan Barat dapat ditemukan genderang (genta)
perunggu Dongson di Jawa, Bali dan dataran Pasemah, Sumatera Selatan.
Sejak
abad ketiga, pelaut Cina telah berlayar ke Indonesia untuk melakukan
perdagangan. Rute pelayaran menyusuri pantai Asia Timur dan pulangnya melalui
Kalimantan Barat dan Filipina. Pada abad ketujuh, hubungan Tiongkok dengan
Kalimantan Barat sudah sering terjadi, tetapi belum menetap. Imigran dari Cina
kemudian masuk ke Kerajaan Sambas dan Mempawah dan terorganisir dalam kongsi
sosial politik yang berpusat di Monterado dan Bodok. Kerajaan Sambas dan Mandor
dalam Kerajaan Mempawah. Pasukan Khubilai Khan di bawah pimpinan Ike Meso, Shih
Pi dan Khau Sing dalam perjalanannya untuk menghukum Kertanegara, singgah di
kepulauan Karimata yang terletak berhadapan dengan Kerajaan Tanjungpura. Karena
kekalahan pasukan ini dari angkatan perang Jawa dan takut mendapat hukuman dari
Khubilai Khan, kemungkinan besar beberapa dari mereka melarikan diri dan
menetap di Kalimantan Barat.
Pada tahun 1407, di Sambas didirikan
Muslim/Hanafi - Chinese Community. Tahun 1463 laksamana Cheng Ho, seorang Hui
dari Yunan, atas perintah Kaisar Cheng Tsu alias Jung Lo (kaisar keempat
dinasti Ming) selama tujuh kali memimpin ekspedisi pelayaran ke Nan Yang. . Ketika
itu diutus Kaisar Cina untuk menjalin hubungan dagang dengan berbagai
kerajaan di kawasan selatan. Begitu tiba di Sambas, laksamana yang
Muslim ini mendirikan Perkumpulan Tionghoa Islam Sambas. Perkumpulan
tersebut berpusat di Sungai Raya, 120-an kilometer utara Pontianak.
Kedatangan
warga Tionghoa mulai marak berlangsung sekitar awal abad 17. Tempat
tujuannya adalah Montrado. Di sana, mereka menggali serta mengolah emas untuk
kepentingan Sultan Sambas. Melihat kondisi alam yang memiliki prospek yang cukup baik bagi
masa depan, arus kedatangan orang Tionghoa ke Kalbar terus meningkat tajam. Beberapa anak buahnya ada yang
kemudian menetap di Kalimantan Barat dan membaur dengan penduduk setempat.
Mereka juga membawa ajaran Islam yang mereka anut sejak abad 17.
Di abad ke-17 hijrah bangsa Cina ke
Kalimantan Barat menempuh dua rute yakni melalui Indocina - Malaya - Kalimantan
Barat dan Borneo Utara - Kalimantan Barat. Tahun 1745, orang Cina didatangkan
besar-besaran untuk kepentingan perkongsian, karena Sultan Sambas dan
Panembahan Mempawah menggunakan tenaga-tenaga orang Cina sebagai wajib rodi
dipekerjakan di tambang-tambang emas. Tahun
1760 mereka datang dalam jumlah yang besar ke Kalimantan. Mula-mula mereka
didatangkan dan dipekerjakan di tambang emas oleh Sultan Sambas sejak tahun
1740-an. Sebelumnya, hanya orang Dayak dan Melayu yang menjadi penambang tetapi
ternyata hasil yang diperoleh sedikit. Sementara itu orang Cina lebih
berpengalaman dan unggul dalam teknologi penambangan sehingga dapat memproduksi
emas lebih banyak. Orang Cina pada saat itu juga memiliki organisasi untuk
mendatangkan buruh ‘China’ dari daratan China dan menguasai buruh sehingga
pertambangan dapat terus berlangsung. Karena alasan-alasan seperti ingin
bagian yang lebih besar dan tidak puas pada Sultan (mereka merasa diperas) maka
mereka tidak menyerahkan emasnya kepada Sultan Sambas tetapi untuk diri mereka
sendiri dan mendirikan kongsi. Kongsi adalah
organisasi yang mengurus kehidupan orang cina termasuk memiliki pasukan
keamanan untuk menjaga keselamatan masyarakat cina. Kedatangan mereka di Monterado
membentuk kongsi Taikong (Parit Besar) dan SamtoKiaw (Tiga Jembatan).
Tahun
1770, orang-orang Cina perkongsian yang berpusat di Monterado dan Bodok
berperang dengan suku Dayak yang menewaskan kepala suku Dayak di kedua daerah
itu. Sultan Sambas kemudian menetapkan orang-orang Cina di kedua daerah
tersebut hanya tunduk kepada Sultan dan wajib membayar upeti setiap bulan,
bukan setiap tahun seperti sebelumnya. tetapi mereka diberi kekuasaan mengatur
pemerintahan, pengadilan, keamanan dan sebagainya. Semenjak itu timbul Republik
Kecil yang berpusat di Monterado dan orang Dayak pindah ke daerah yang aman
dari orang Cina.
Pada
Oktober 1771 kota Pontianak berdiri. Tahun 1772 datang seorang bernama Lo Fong
(Pak) dari kampung Shak Shan Po, Kunyichu, Kanton membawa 100 keluarganya
mendarat di Siantan, Pontianak Utara. Sebelumnya di Pontianak sudah ada kongsi
Tszu Sjin dari suku Tio Ciu yang memandang Lo Fong sebagai orang penting.
Mandor dan sekitarnya juga telah didiami suku Tio Ciu, terutama dari Tioyo dan
Kityo. Daerah Mimbong didiami pekerja dari Kun-tsu dan Tai-pu. Seorang bernama
Liu Kon Siong yang tinggal dengan lebih dari lima ratus keluarganya mengangkat
dirinya sebagai Tai-Ko di sana. Di San Sim (Tengah-tengah Pegunungan) berdiam pekerja
dari daerah Thai-Phu dan berada di bawah kekuasaan Tong A Tsoi sebagai Tai-Ko. Lo
Fong kemudian pindah ke Mandor dan membangun rumah untuk rakyat, majelis umum
(Thong) serta pasar. Namun ia merasa tersaingi oleh Mao Yien yang memiliki
pasar 220 pintu, terdiri dari 200 pintu pasar lama yang didiami masyarakat Tio
Tjiu, Kti-Yo, Hai Fung dan Liuk Fung dengan Tai-Ko Ung Kui Peh dan 20 pintu
pasar baru yang didiami masyarakat asal Kia Yin Tju dengan Tai-Ko Kong Mew Pak.
Mao Yien juga mendirikan benteng Lan Fo (Anggrek Persatuan) dan mengangkat 4
pembantu dengan nama Lo-Man. Lo Fong kemudian mengutus Liu Thoi Ni untuk
membawa surat rahasia kepada Ung Kui Peh dan Kong Mew Pak, sehingga mereka
terpaksa menyerah dan menggabungkan diri di bawah kekuasaan Lo Fong tanpa
pertumpahan darah. Lo Fong kemudian juga merebut kekuasaan Tai-Ko Liu Kon Siong
di daerah Min Bong (Benuang) sampai ke San King (Air Mati).
Pertengahan
abad 18 Lo Fong kemudian menguasai pertambangan emas Liu Kon Siong dan
pertambangan perak Pangeran Sita dari Ngabang. Kekuasaan Lo Fong meliputi
kerajaan Mempawah, Pontianak dan Landak dan disatukan pada tahun 1777 dengan
nama Republik Lan Fong. Tahun 1795 Lo Fong meninggal dunia dan dimakamkan di Sak Dja
Mandor. Republik yang setiap tahun mengirim upeti kepada Kaisar Tiongkok ini
pun bubar. Oleh orang Cina Mandor disebut Toeng Ban Lit (daerah timur dengan
1000 undang-undang).
Pada
6 September 1818 Belanda masuk ke Kerajaan Sambas. Tanggal 23 September Muller
dilantik sebagai Pejabat Residen Sambas dan esoknya mengumumkan Monterado di
bawah kekuasaan pemerintahan Belanda. Pada 28 November diadakan pula pertemuan
dengan kepala-kepala kongsi dan orang-orang Cina di Sambas. Pada tahun 1819,
masyarakat Cina di Sambas dan Mandor memberontak dan tidak mengakui
pemerintahan Belanda. Seribu orang dari Mandor menyerang kongsi Belanda di
Pontianak. Pada 22 September 1822 diumumkan hasil perundingan segitiga antara
Sultan Pontianak, pemerintahan Belanda dan kepala-kepala kongsi Cina. Namun
pada 1823, setelah berhasil menguasai daerah Lara, Sin Ta Kiu (Sam Tiu Kiu),
Sambas, kongsi Tai Kong mengadakan pemberontakan terhadap Belanda karena merasa
hasil perundingan merugikan pihaknya. Dengan bantuan Sam Tiu Kiu dan
orang-orang Cina di Sambas, kongsi Tai Kong kemudian dipukul mundur ke
Monterado. Setelah gagal pada serangan kedua tanggal 28 Februari 1823, pada 5
Maret penduduk Cina yang memberontak menyatakan menyerah dan kemudian 11 Mei
komisaris Belanda mengeluarkan peraturan-peraturan dan kewajiban-kewajiban kongsi-kongsi.
Tahun
1850, kerajaan Sambas yang dipimpin Sultan Abubakar Tadjudin II hampir jatuh ke
tangan perkongsian gabungan Tai Kong, Sam Tiu Kiu dan Mang Kit Tiu. Kerajaan
Sambas meminta bantuan kepada Belanda. Tahun 1851, kompeni Belanda tiba dipimpin
Overste Zorg yang kemudian gugur ketika perebutan benteng pusat pertahanan Sam
Tiu Kiu di Seminis Pemangkat. Ia dimakamkan di bukit Penibungan, Pemangkat.
Setelah
Abad 18 tahun 1854 pemberontakan kian meluas dan didukung bangsa Cina yang di
luar perkongsian. Belanda kemudian mengirimkan pasukan tambahan ke Sambas yang
dipimpin Residen Anderson. Akhirnya pada 1856 Republik Monterado yang telah
berdiri selama 100 tahun berhasil dikalahkan. Tanggal 4 Januari 1857 Belanda
mengambil alih kekuasaan Cina di kerajaan Mempawah, dan tahun 1884 seluruh
perkongsian Cina di Kalimantan Barat dibubarkan oleh Belanda. Tahun 1914,
bertepatan dengan Perang Dunia I, terjadi pemberontakan Sam Tiam (tiga mata,
tiga kode, tiga cara). Pemberontakan di Monterado dipimpin oleh bekas keluarga
Republik Monterado, sedangkan pemberontakan di Mempawah dipimpin oleh bekas
keluarga Republik Lan Fong. Mereka juga dibantu oleh masyarakat Melayu dan
Dayak yang dipaksa untuk berpartisipasi Pemberontakan berakhir tahun 1916
dengan kemenangan di pihak Belanda. Belanda kemudian mendirikan tugu peringatan
di Mandor bagi prajurit-prajuritnya yang gugur selama dua kali pemberontakan
Cina (tahun 1854-1856 dan 1914-1916). Perang 1914-1916 dinamakan Perang Kenceng oleh masyarakat
Kalimantan Barat.
Tahun
1921-1929 karena di Tiongkok (Cina) terjadi perang saudara, imigrasi
besar-besaran orang Cina kembali terjadi dengan daerah tujuan Semenanjung
Malaya, Serawak dan Kalimantan Barat. Tidak ada data resmi mengenai jumlah
populasi Tionghoa di Indonesia dikeluarkan pemerintah sejak Indonesia merdeka.
Namun perkiraan kasar yang dipercaya sampai sekarang ini adalah bahwa jumlah
suku Tionghoa berada di antara 4% - 5% dari seluruh jumlah populasi Indonesia.
Demikianlah
kemudian karena beberapa faktor, masyarakat cina semakin ramai saja memasuki
Kalimantan Barat khususnya Singkawang. Walaupun telah terjadi beberapa konflik
yang melibatkan masyarakat cina baik dengan orang melayu maupun dayak, namun
masyarakat cina terus maju dan berkembang di Singkawang hingga sekarang. Masyarakat
cina dengan harmonis hidup berdampingan dengansuku lainnya yang ada di
Singkawang. Bahkan saat ini tradisi dan
kebudayaan cina telah sejajar dengan kebudayaan dua suku lainnya yang menghuni
mayoritas Kota Singkawang yaitu Melayu dan Dayak.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari makalah di atas
dapat disimpulkan bahwa : kedatangan orang cina di singkawang di perkirakan
berawal dari perdagangan yang melibatkan cina dengan pedagang Indonesia yang
dilalui dengan jalur laut. Hubungan ini terjalin sejak abad ke- VII dimana pada
saat itu tiongkok dengan Kalimantan Barat mulai menjalin hubungan dagang. Namun
kedatangan orang tionghoa mulai marak terjadi pada abad ke 17 dengan tujuan
utama adalah Monterado,yang merupakan daerah pertambangan emas dan mereka
bekerja untuk kesultanan sambas yang pada masa itu berkuasa. Kemudian mereka
mulai membentuk pengkongsian yang berpusat di Monterado.
Demikianlah kemudian
terjadi beberapa pertikaian yang melibatkan suku dayak dan cina. Dari
cina sendiri juga muncul keinginan untuk memberontak terhadap sultan Sambas
kerena ketidak puasan meraka akan pemerintahan dan kebijakan sultan Sambas.
Bangsa cina juga mendapat ganguan dari belanda yang juga mulai berkuasa pada di
Sambas saat itu. Setelah melewati berbagai hambatan dan peperangn yang
melibatkan bangsa cina baik dengan melayu maupun dayak, pada akhirnya ketiga
suku mayoritas yang menghuni kota Singkawang ini dapat hidup berdampingan
dengan harmonis hingga saat ini.
B.
Saran
Setelah membaca makalah ini, penulis berharap agar seluruh
masyarakat dapat mengetahui lebih dalam tentang sejarah kedatangan masyarakat
Tionghoa di Singkawang. Keberadaan masyarakat cina di kota Singkawang saat ini
sudah diakui, kejadian beberapa tahun yang lalu dapat dijadikan suatu pelajaran
yang berharga bagi kita semua. Selain untuk mendapatkan pengetahuan penulis
juga berharap agar kita semua dapat saling menghargai dan menghormati antar
suku, seperti yang tertuang dalam makna “Bhineka Tunggal Ika”.
DAFTAR
PUSTAKA
http://ace-informasibudaya.blogspot.com
http://www.mail-archive.com/singkawang@yahoogroups.com
Pabali H. Musa, Sejarah Kesultanan Sambas Kalimantan, STAIN Pontianak Press 2003
ISBN : 979-97063-3-5.
Yuan Zi Hi, Kong, Silang Budaya Tiongkok Indonesia No.
ISBN : 974-694-8397.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar